Terinspirasi dari obrolan dengan teman sebangku dalam sebuah
penerbangan menuju Kuala Lumpur,
Menurut pengamatannya hasil kerajinan di Minang bagus-bagus
apalagi baju sulam dan kain songketnya, seraya menanyakan harga mungkin
beliau khawatir terkecoh dengan
penawaran pasar, saya pun jelaskan bahwa kain songket itu ada yang lebih satu
juta rupiah sekayunya berbeda sesuai kualitasnya begitu juga dengan kain sulam
yang berkisar 200-400 ribu rupiah.
"Di Bukittinggi sangat banyak orang yang jual kain-kain sulam
ya?", tanyanya
"Hm..jelaslah, disana banyak pengrajinnya?", ucap saya bangga
"Tapi, saya lihat tidak ada yang pakai orang-orang sini,
kenapa ya?"
(hm..jadi salting dan binggung mau jawab apa)
Owh..iya kak, kami biasanya pakai kalau ada acara adat dan
pesta dan hari lebaran, dan kalau anak-anak sekolah biasanya pakai hari Jumat.
Hmm..sebuah jawaban pembelaan penutup malu, tapi sepertinya
bisa diterima logika.
Tentu saja generasi sekarang khususnya Minangkabau sudah
jarang membudayakan mengenakan baju kurung, termasuk saya.
Alasan selain harga yang mahal yaaa itu, mau tampil modis, bergerak
fleksibel dan aktiv, malu ketinggalan jaman, mungkin menjadi pertimbangan
mereka meninggalkan pakaian tradisonal ini. Jadi ingat ketika kuliah saat
mahasiswi diminta mengenakan rok untuk mata kuliah tertentu, berbagai protes
dan keluhan bermunculan.
Beginilah akibat pikiran sudah dipengaruhi budaya luar, kita
tidak lagi memiliki local genius.
Sebagain kecil kalangan sepertinya sudah menyadari hal ini,
karena belakangan ini beberapa instansi pemerintah mewajibkan staf atau pegawai
menggunakan seragam pakaian tradisional.
Saya pun sudah bertekad mulai saat ini punya minimal satu
baju kurung kebanggaan gadih minang..terimakasih buat teman baru satu penerbangan.
#cintaIndonesia #visitminangkabau #bajukurung
#cintaIndonesia #visitminangkabau #bajukurung
Komentar
Posting Komentar