Terpesona dengan kisah yang ditulis Tere-Liye
dalam judul novel Burlian, serial anak-anak mamak yang sudah hampir delapan
hari kupinjam pada Hafizhah, saudara sepupuku yang tinggal di ciracas, walau
hnaya menyempatkan beberapa jam sehari setelah selesai aktivitas di kantor
untuk membacanya namun setiap penggalan kisah membuatku menyelami kehidupan di
dalamnya yang juga ikut larut dalam tawa, riang, kesedihan, marah, semua emosi
yang terlukis di dalamnya.
Sampai pada bagian akhir cerita tentang AMD yang
mendirikan bumi perkemahan untuk pemuda dan pelajar di kabupaten, aku jadi
teringat dengan cerita kami sebagai mahasiswa baru di Psikologi UNP lima tahun
yang lalu, tepatnya setelah tiga bulan menjadi mahasiswa resmi di sana,
kegiatan itu mereka sebut BAKOMAS artinya Bakti konseling Masyarakat, yang
terlibat dalam kegiatan ini mulai dari mahasiswa baru, senior, dosen hingga
pejabat kampus tepatnya fakultas.
H-3 semuanya sudah bersiap yang sibuk tentunya
panitia dan peserta dan kita peserta juga dikenakan biaya Rp 85000/orang dan
untuk membayar ini saja panitia harus mengancam kami seperti tidak dapat
sertifikat yang berarti ga bisa wisuda dan semua itu hoax belaka, dan kegitan
ini wajib di ikuti oleh semua anak baru tanpa alasan tapi masih ada juga
beberapa temanku yang tidak ikut karena takut dan mereka bilang sakit..yah ga
penting lah ini buat dibahas.
Tentu saja perkemahan ini akan membutuhkan
berbagai peralatan mulai dari sangat penting sampai tidak penting bahkan
dibilang konyol, berikut ini aku bikin list beberapa diantaranya: kompeng bayi,
petai, kacamata hitam, scraf, kalung permen dan terong, selempang "nama suci" yang sudah ditempel foto gokil ukuran 3R dan ukuran 5R buat disimpan itu baru
atribut personal yang wajib dipakai.
Aku, nia, dan butet sangat antusias dengan
persiapan ini, kami belanja ke pasar mencarinya bersama dan saling tolong
menolong, aku jadi ingat waktu itu aku ga bisa ikut mereka berdua ke pasar
karena masih ada jadwal kuliah, nah karena kami beda kelas jadi aku bisa nitip
beliin celana training, kacamata, scraf, dan kompeng, eh iya masih ada lagi
peralatan makan kami harus dengan gelas dan pring plastik bewarna biru
masing-masing satu. Sibuk dengan atribut masing-masing dan kelompok
masing-masing, kami tidak sekelompok tapi aku dan butet ternyata satu kelompok
dan dengan beberapa orang lainya mereka itu adalah Arif boleng, Teja, Umi,
weny, Nesia dan Alfina.
H-1, sorenya semua peserta dikumpulkan di lapangan
basket yang ada dibelakang kampus membentuk kelompok masing-masing, tapi aku
agak lupa bagian ini, oh iya...aku ingat kalau kita disuruh menghapal 12 azaz
konseling dan itu wajib walaupun kami bukan BK tapi kami dilahirkan dari BK,
tentu saja tunduk pada “emak”.
Satu yang agak menyebalkan menurutku dari salah
satu kelompok kami adalah si weny, dia itu kurang lincah dan kayaknya kurang
niat deh ikut kegiatan ini, jadinya untuk kelompok ini aku dan butet yang bawa
kompor, periuk, dan wajan umi yang bawa deh setau aku (ternyata weny loh yang sering masak buat kami di camp, sorry waktu itu udah su ujon ama lo, heheh pis). Selain itu aku dan butet
bikin lauk buat makan hari pertama seperti tempe goreng, kacang dan teri balado
dan dibungkus di plastik dan ini harus dirahasiakan agar tidak diserbu oleh
peserta lain yang pasti nanti kelaparan.
Pagi yang dinanti pun datang jam 6 pagi sebagian
besar peserta sudah berkumpul di depan gerbang begitu juga dengan beberapa bus
yang siap mengantar kami ke tujuan. Aku pun sipa dengan segalanya mulai dari
atribut, seragam kaos hijau PKMB dan ransel yang lumayan berat sekitar 8 kg
sepertinya.
Sesampainya di sana yaitu di daerah sumpur kudus,
solok, provinsi Sumatera Barat, kami semua turun dari bus dan dipandu oleh
beberapa senior menuju lokasi, dengan semua barang bawaan, satu persatu
berbaris perkelompok dan menunggu giliran untuk menikmati beberapa wahana yang
telah di siapkan oleh panitia, yang pertama adalah pemeriksaan kelengkapan,
menyampaikan tentang arti nama suci, menikmati mimik pake mpeng dalam barisan,
lalu masuk ke sungai dan berjalan sampai ke posko berikutnya, wah ini air deras
dan kami melawan arus eh tiba-tiba aja ada yang kuning juga lewat, jijik banget
kan, tapi saat itu kita ga boleh ekspresif karena semua tindak tanduk dibawah
pengawasan senior, sebenarnya bukan sungai tapi hanya aliran air dengan lebar
dua meter sehingga kita bisa bershaf empat orang sekaligus. Menjadi tontonan
dan hiburan menarik buat mereka dan sebagian kecil orang kampung.
Kemudian memakan petei dan wajib menghabiskannya, waktu itu aku pura-pura makan saja padahal itu petei aku "salek an" di samping gigi, lagian kalau dimakan itu udah busuk ada ulatnya. Setelah berjalan di air sejauh 30 meter kami di suruh naik dan dipasangkan masker muka yang terbuat dari campuran lumpur dan cirik kabau.
(bersambung)......
Komentar
Posting Komentar